Followers

About Me

My photo
Melaka, Melaka Tengah, Malaysia
Assalamulaikum kepada pembaca blog sy ini..nama ku di beri cukup dengan makna yang tersirat dan di lahirkan di Pontian, Johor tapi skrg menetap di Melaka... allhamdullilah telah pun tamat belajar dan kini sy telah menyambung pengajian sy yg seterusnya & insyallah selagi kudrat masih lagi akan ku teruskan perjuangan menunutut ilmu selagi sy masih bernafas di muka bumi Allah ini...prinsip sy selagi sy di beri kesempatan dng kudrat yg sy ada, perjuagan tidak akan selesai..sy akan cube mencari ilmu yg ada kat dunia ini yg belom sy terokai..gagal sekali tidak bermakna gagal tuk selamanya..yg penting tidak kenal erti putus asa

Monday, September 1, 2008


Hikmah Puasa Ramadhan

"Hai orang - orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang - orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa "(QS. : 2 : 183).Bulan suci Ramadhan senantiasa berhubungan dengan kehadiran Tuhan, dan intelegensi kosmik, yang juga bersinar di dalam diri manusia yang melakukan puasa (Riyadlah) di bulan itu, dan merupakan saranan pula untuk menyedari keberadaan yang Maha Esa. Datangnya wahyu secara tiba-tiba seperti kilat, yang berisikan perintah untuk mengerjakan puasa di bulan suci Ramadhan, dapat disamakan dengan jatuhnya batu di sebuah kolam air yang menimbulkan riak-riak untuk bergerak keluar seperti lingkaran konsentris dari pusat. Al-Qur’an dengan struktur puitisnya, yang berdasarkan irama yang tegas dan pola nada yang sangat halus. Mengundang reaksi dalam jiwa masyarakat Islam, dan menjadikan puasa di bulan suci Ramadhan, sebagai puasa yang sangat penting dalam Agama Islam, karena ia (puasa) merupakan induk dari berbagai puasa Islam lainnya. Puasa di bulan suci Ramadhan ini merfleksikan gema kitab Suci dalam pikiran setiap orang muslim yang mengerjakannya. Pada gilirannya gema tersebut akan membuat kenangan dalam pikiran dan jiwa orang - orang yang melakukannya dengan hati yang ikhlas karena Allah Ta’ala semata. Karena keikhlasan inilah yang akan mengembalikan mereka pada keadaan dengan kegembiraan dan keindahan surgawi. Disinilah pengaruh kimiawi atas jiwa seseorang dalam menjalankan puasanya dan akan pula mempengaruhi jiwanya, terhadap adanya kebenaran. Berdasarkan seluruh kehidupan yang mencerminkan kebudayaan Islam tradisional, semua bentuk-bentuk ibadah didalamnya akan saling berhubungan melalui prinsip-prinsip tradisional, yang meresapkan nilai kesucian, seperti halnya prinsip-prinsip spiritual yang mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia tradisional dalam semua bentuknya. Selain memudahkan pelaksanaan ibadah puasa, Islam juga mengungkapkan watak teomorfis manusia yang lebih baik daripada menyembunyikannya. Seseorang yang menikmati puasa di bulan suci ramadhan ini, atau yang mampu menjalankannya dengan baik dan benar, maka secara potensial ia akan tetap hidup di surga yang ia ciptakan melalui keanggunan batin Al-Qur’an - Al-Kariim. Sedangkan bagi mereka yang tidak memahami, dan tidak mampu menjalaninya, walau sebenarnya mereka mampu jika saja niat hatinya bersungguh-sungguh dan keras membaja. Maka mereka seperti telah jatuh keluar dari surga itu, karena mereka mengalami kejatuhan spiritual yang menjadi alasan utama desakan mereka untuk tidak menjalaninya, walau sebenarnya mereka memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini menunjukan kegagalan mereka dalam mencapai tujuan yang suci lagi mulia. Suatu kegagalan dalam mencapai tujuan di luar tradisi spiritual universal mereka terhadap keadaan obyektiv dunia, sebuah interpretasi yang sama sekali tidak eksis dalam subjektivisme individual, dan kolektif yang mengalihkan kejatuhan jiwa menjadi keadaan yang diperlukan oleh eksistensi manusia dalam dunia kontemporer.Masyarakat Islam mampu melaksanakan dan mempertahankan budayanya yang bersifat spiritual sekaligus sensual, menyingkap selubung yang menutupi keindahan dunia ini beserta sifat fananya, dan menjelma dalam bentuk tatanan ibadah yang suci dan mensucikan pada alam transenden yang indah melalui teofani Tuhan ; salah satu dari ibadah ini adalah puasa di bulan suci Ramadhan yang merupakan warisan para Nabi dan Rasul yang tetap di anggap sebagai realitas yang masih hidup dan tetap menyala laksana kutub - kutub spiritual dan norma - norma teladan. Dan tetap menjadi perhatian para pencari kebenaran dalam masyarakat Islam, dan jiwa para pelakunya menjalankan ibadah puasa itu sendiri, dan menjadi nilai universal bagi seluruh dunia Islam pada saat kebodohan mengancam untuk mencekik berbagai bentuk ibadah serta spiritualnya. Oleh karena itu kewajiban masyarakat Islam adalah mengetahui dan memahami hakikat dari pada ibadah puasa ini, yang hanya bukan sekadar dapat menahan lapar dan haus saja, akan tetapi pahami pula prinsip-prinsip yang mendasarinya agar mendapatkan manfaat dan peningkatan yang membuatnya menjadi mungkin untuk mengenali lebih dekat dan menembus lebih dalam ke substansi ilahi dan kemudian memberitahukannya kepada yang lain. Mengenai mereka yang tidak memahami makna dari ibadah puasa di bulan suci ramadhan ini, serta ketidaktahuan mereka atas prinsip-prinsip yang menyelimutinya. Maka merupakan tugas suci lagi mulai untuk tidak menyembunyikan ketidaktahuan mereka dengan sebuah kebanggan untuk menghancurkan segala sesuatu yang tidak diketahuinya. " Kejujuran yang kini dibicarakan setiap orang, menuntut supaya seseorang yang tidak merusak karena kebutaannya terhadap realitas tradisi Islam, ataupun karena kreasi artistik yang telah kehilangan dirinya sendiri ".Sebutir debu serta kesekejapan hidup diubah melalui tradisi menjadi sebuah bintang di cakrawala, yang diberkahi dengan kemapanan dan merefleksikan keabadian Tuhan. Kekuatan kreatif dan ketabahan seseorang yang melakukan ibadah puasa, jauh dari adanya pencekikan. Ia akan terbebas dari belenggu dan keterbatasan subyektif dirinya sendiri, dan ia pun akan memperoleh suatu universalitas dan kekuatan yang luar biasa. Orang seperti inilah yang tidak akan pernah menghilangkan makna spiritual dari budaya Islam yang umumnya disebabkan oleh kekeliruan interpretasi mengenai lingkungan tertentu yang membatasi Islam hanya pada aspek luarnya saja dan mengabaikan jurang yang memisahkan keindahan dan kemudharatan. Seorang muslim sejati akan dengan rendah hati menyadari keagungan tradisi yang dapat memberi arah dan orientasi kepadanya melalui penyerahan diri, pemusatan dan peleburan batin sepenuhnya. Maka dalam penyerahan diri dan bakatnya kepada tradisi ini, ibadah yang dihasilkannya akan menjadi suci dan bersih dari taqlid buta. Melalui ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini akan terbentuklah kembali keselarasan fundamental yang memungkinkan manusia untuk kembali pada keberadaan dan kesadarannya yang lebih tinggi. Sedangkan doktrin tentang keselarasan dalam makrokosmos akan terwujud pada taraf realitas yang lebih tinggi dan menjadi suram serta semakin samar dalam tingkat kosmos yang semakin rendah. Walaupun keselarasan itu sendiri merupakan bagian dari surgawi, bagian dari kosmik dan hirarki universal serta sekaligus menjadi sumber pencerahan.Berbagai definisi dalam kebudayaan Islam bahwa puasa di bulan suci Ramadhan berkaitan erat dengan hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dalam perjalanannya menuju sumber spiritualitas sejati dengan beragam landasan epistemologis untuk mencapai kepastian yang logis dan mungkin saja terdapat perbedaan hasil dalam hal perjalanan yang dilaluinya itu melalui kemurnian dari tatanan suatu ibadah menurut kapasitasnya masing-masing. Sementara hubungan antara puasa dan spiritual justru dapat ditemukan dari hubungan metafisik yang mengikat keduanya. Spiritual dan ibadah puasa tak pelak lagi selalu dikaitkan dengan logos dan menurut sudut pandang tradisional merupakan proses yang diikuti oleh pikiran dalam pencariannya (thallab) akan kebenaran. Proses ini dimungkinkan oleh kekuatan logis pikiran yang merupakan perluasan dari prinsip intelektual, yang tiada lain adalah refleksi dari intelek Tuhan atau logos dalam bentuk pikiran. Prinsip yang sama ini merupakan sebab ontologis realitas kosmik, oleh karenanya ada hubungan (persesuaian) antara proses mental manusia dalam menjalani puasa dengan realitas eksternal, dan adanya kemungkinan bagi kecakapan logis pikiran untuk mencari kebenaran yang sesuai dengan realitas eksternal. Prinsip ini pulalah yang memberi makna pada substansi ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini. Oleh karena itu, menurut doktrin tradisional, puasa dan spiritual mempunyai sumber yang sama, yaitu intelek, dan saling melengkapi, jauh dari adanya pertentangan. Ibadah puasa akan menjadi pertentangan dengan spiritual hanya apabila resfek terhadap logika yang telah diubah menjadi rasionalisme, dan ibadah puasa yang sesungguhnya merupakan sarana untuk mengekspresikan pengetahuan yang benar-benar intelektual yang direduksi menjadi transformasi dalam jiwa manusia dengan ditemukannya kembali hubungan primordial manusia dengan prinsip spiritual dan intelektual segala sesuatu. Sedangkan spiritualisme direduksi menjadi sentimentalisme atau sekadar alat untuk mengekspresikan keanehan individual dan bentuk subyektivisme. Tetapi dalam konteks tradisional yang menganggap ibadah puasa sebagai tangga untuk mendaki peringkat trasenden, serta spiritual yang secara eksplisit bersifat didaktis atau sebaliknya. Dalam hal ini tidak dapat dipungliri lagi bahwa peranan logika akan sangat membantu karena ia berfungsi sebagai penyampaian pesan-pesan intelektual dan spiritual, maka logika pun menjadi bagian dari ibadah puasa, begitu pun sama pula halnya dengan spiritual. Logika akan saling melengkapi antara ibadah puasa dan spiritual yang merujuk kepada realitas yang mendasari keduanya. LAILATUL QADAR " Sesungguhnya KAMI telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar) , dan tahu kamu apakah malam kemuliaan itu..?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat - malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar ". (QS. : 97 : 1-5). Malam kemuliaan atau malam lailatul qadar adalah bagian dari bulan suci Ramadhan. Malam yang penuh dengan hikmah kebesaran yang lebih baik dari seribu bulan yang cahayanya menyinari bumi. Hal ini menegaskan peran Al-Qur’an sebagai petunjuk (Al-Huda), jalan menuju Tuhan, bagaikan sepercik cahaya menyinari kegelapan eksistensi manusia di dunia ini. Malam lailatul qadar akan mengingatkan manusia akan kepapaannya dihadapan Tuhan yang Maha Esa, seperti halnya kehausan spiritual Nabi Muhammad SAW. Serta aspek dalam jiwanya yang penuh ketundukan, kedamaian, ketenangan dan kerinduan alam kubur. Kehebatann malam lailatul qadar disamping sebagai peringatan permulaan turunnya kitab suci Al-Qur’an, pula melambangkan kesempurnaan Tuhan dan aspek lain dari jiwa Nabi Muhammad SAW. Yang merupakan suatu teofani dan refleksi dari ketakterbatasan kekayaan khazanah Tuhan yang tercipta setiap saat tanpa pernah kehabisan kemungkinan-kemungkinannya pada alam semesta. Hal ini disebabkan oleh alam itu sendiri yang diikutsertakan dalam pewahyuan Al-Qur’an dan disucikan melalui pandangan bahwa manusialah yang datang untuk menerima wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Identifikasi cahaya yang mensucikan pada malam lailatul qadar dengan prinsip spiritual yang sekaligus membentuk, mengatur, dan membebaskan manusia dari prisma nafsu yang berkobar selama menjalankan ibadah puasa di dalam bulan suci Ramadhan, yang merupakan tahapan mendekati akhinya puasanya. Malam lailatul qadar senantiasa berhubungan erat dengan keselarasan dan realitas arketip sebagai refleksi yang Esa dan yang tetap abadi di balik pola perubahan dunia dengan kesementaraannya sekalipun. Seolah ada kejernihan dan kesempurnaan kepingan salju yang tersinar, polarisasi warna merah jingga yang memikat penuh kharismatik yang mistik dan sakral. Atau suatu keindahan sekuntum bunga berbentuk geometris dalam surga Islam, yang ketika mewujud dalam desiran angin yang mengeluarkan aroma kesturi dengan deru suaranya yang merupakan gema dari surga dalam mempersiapkan jiwa untuk mengalami dan memasuki keindahan firdausi yang di dalam Al-Qur’an di janjikan untuk orang-orang yang beriman.Dalam kosmologi Islam malam lailatul qadar itu penuh dengan tanda dan isyarat (ayat) Tuhan, seperti yang dikatakan dalam Al-Qur’an : " KAMI akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat) KAMI di segenap penjuru dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas-lah bagi mereka kebenaran ". (QS. : 41 : 53). Seorang muslim melihat setiap aspek malam lailatul qadar bukanlah sekadar fenomena yang terpisah dari noumenal world (dunia kasat indera) melainkan ia akan melihatnya sebagai vestigia dei (tanda-tanda Tuhan). Malam kemuliaan itu (malam lailatul qadar) dilandasi oleh ketertiban dan kedamaian atas kasih sayang Tuhan kepada hamba-hambanya walaupun bersifat dinamis, malam lailatul qadar tetap menunjukkan pola dasar yang selaras dan seimbang sampai terbit fajar, karena keabadian pola dasar malam lailatul qadar itupun juga mencerminkan keberadaan universal yang lebih tinggi dari pada kemungkinan yang bisa terjadi dalam ilahi yang suci dan mensucikan yang hanya dapat terjadi berdasarkan ilmu pengetahuan tentang dimensi batin ajaran Islam yang tidak ada kebengkokan didalamnya, dan pada bentuk-bentuk makrifat lainnya. Kosmos Islam didasarkan pada penekanan Tuhan sebagai satu-satunya sumber segala sesuatu, pada hirarki eksistensi yang menyadarkan diri pada yang Esa dan diatur oleh perintah-NYA, pada tingkat eksistensi yang menghubungkan dunia material dengan dunia gaib, dan dunia gaib dengan dunia malaikat (alam al-malakut).Ibadah - ibadah lainnya, yang dilakukan pada malam kemuliaan itu (lailatul qadar) akan mengembalikan kesadaran manusia bahwa alam semesta adalah kalam ilahi dan pelengkap ayat-ayat suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kesadaran ini diperkuat dengan tata cara shalat yang secara naluriah mengembalikan manusia pada keadaan primordialnya dan memperbanyak mengingat Allah SWT (dzikrullah) dengan menjadikan seluruh alam sebagai tempat ibadah. Terlebih lagi Rosulullah SAW menegaskan bahwa farsy itu tak ubahnya merupakan pencerminan arsy yang memantulkan realitas alam maupun manusia primordial. Ia merefleksikan matahari yang tak lain adalah fitrah yang ditegaskan kembali oleh Islam didalam diri manusia maupun alam. Ibadah - ibadah dengan kadar lebih yang dilakukan manusia pada malam lailatul qadar itu, akan menjadikan pantulan realitas batin manusia primordial itu sendiri yang merupakan pasangan mikrokosmik dari realitas kosmik sebagai wujud primordial yang tetap menyadari hubungan batinnya dengan Yang Maha Esa, maupun dengan ciptaan-NYA, sedangkan hubungan batin itu sendiri sudah terjalin lama dalam kosmos Islam, dengan kaidah-kaidah dan prinsip kosmologisnya. Memperbanyak ibadah di bulan suci Ramadhan (shalat - berdzikir dan ibadah-ibadah lainnya) diantara berbagai fungsinya, adalah untuk mengembalikan manusia ke alam kesucian primordial (Al-Fitrah). Saat yang Maha Esa menghadirkan dirinya secara langsung di dalam Qalbu (hati) manusia, dan mengumandangkan sebuah simfoni abadi dalam keselarasan yang ada pada alam yang suci".Oleh: Al’Habib Faridhal Attros Al’Kindhy Tokoh Spiritual Islam Bogor

Menghayati Bulan Yg Mulia


Syaitan dan jin diikat di bulan Ramadhan

Bersabda Rasulullah saw :"Pada malam pertama bulan ramadhan diikatlah semua syaitan dan jin dan ditutupilah semua pintu-pintu neraka serta tidak dibuka satu pintu pun darinya . Dan dibukakanlah pintu-pintu syurga serta tidak ditutuplah satu pintu pun darinya . Maka berserulah penyeru :Wahai orang yang melakukan kebaikan hampirilah kamu , wahai orang yang melakukan kejahatan undurlah kamu . Dan sesungguhnya Allah mempunyai ahli neraka yang dibebaskan dan sedemikian itu berlaku pada setiap malam (ramadhan)"
( Hadith riwayat at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra )